Khittah perjungan yang selanjutnya disingkat (Kh-p) adalah produk sejarah yang
mengandung dua makna sekaligus. pertama, Kh-p sebagai pergulatan pemikiran
dalam merespon realitas situasi dan kondisi baik eksternal maupun internal.
Dalam arti bahwa Kh-p harus selalu berubah sesuai dengan zaman. Kedua, kh-p
sebagai nilai normatif yang menuntut ke-universalitas dan keabadian. Sehingga
kh-p sebagai nilai normatif harus selalu berpegang teguh pada prisip-prisip
dasar dalam keteraturan alam.
Berbicara sejarah, berarti berbicara masalah perubahan
sosial. sedangkan faktor mendorong perubahan sosial dalam masyarakat antara
lain (1) perkembangan pemikiran manusia. Karena dari pemikiran manusia dapat
membuat konsep maupun strategi dan taktis sebagai upaya untuk merumuskan
tatanan masyarakat yang lebih baik. (2) kultur atau tradisi. Ini sebagai
penguatan suprastruktur budaya dalam masyarakat dalam membangun dan menjaga
tatanan yang telah dirumuskan. (3) kepercayaan atau keimanan akan tuhan sebagai
pengikat antar entitas masyarakat sehingga dapat dijadikan ideology dalam
gerakan perubahan social. (4) kepemimpinan sebagai mekanisme mobilisasi dalam
perubahan sosial.(5) situs atau simbol sebagai tanda sebuah sejarah yang
menjadi momentum sehingga kita dengan mudah mengenali.
Dari sekian faktor diatas, harapannya menjadi satu
rangkaian sejarah yang dapat kita jadikan alat bagaimana Kh-p dibutuhkan,
tentunya sebagai sejarah yang masih bisa kita rasakan sampai saat ini.
Karena secara normatifitas Kh-p adalah keyakinan kepada
sang pencipta dan unsur ciptaan yang tidak terpengaruh oleh sejarah manusia,
sehingga sesuatu yang normatif merupakan kebenaran hakiki, dan hanya yang
hakiki dapat menjelaskan atas dirinya secara benar.
Oleh karena itu, keyakinan atas yang normatif menuntut
untuk taqwa (menjalankan perintah dan menjauhi larangan), taqwa menuntut
kesabaran, kesabaran menuntut kepada teguh pendirian,dan teguh pendirian
menuntut akan keberanian dalam rangka menantang terhadap yang coba menjauhkan
diri kepada sang pencipta, apalagi kepada sesuatu (orang, institusi) yang ingin
menghancurkan. Pada akhirnya antara yang historis dan normatif harus kita
kemukaan untuk saling mengisi agar aktual dan tetap abadi.
0 Comments:
Posting Komentar